Selasa, 21 Januari 2014

Kasus Arahan Dosen

KASUS - KASUS ARAHAN DOSEN

1.    Kasus Iklan Dan Dimensi Etisnya
YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Reklame sebuah produk perawatan wajah yang terpampang di perempatan Badran, Kota Yogyakarta, dianggap Badan Pengawas Periklanan Daerah (BPPD Jogjakarta) tak memenuhi etika pariwara.
Papan reklame itu bergambar wajah lelaki-dari samping kiri dan kanan-yang banyak goresan dan lubang, seperti bekas jerawat yang akut. Tulisan pada reklame tersebut, berbunyi, “Akibat perawatan yang salah, wajahku jadi rusak seperti ini..”
Syamsul Hadi, Ketua BPPD, saat beraudiensi dengan jajaran Pemkot Yogyakarta, Senin (7/9) mengatakan, BPPD meminta dukungan Pemerintah Kota Yogyakarta agar media iklan luar ruang yang di jalanan memenuhi etika pariwara. Yakni etis secara visual, dan materi iklannya memberi informasi yang benar.
Pihaknya melihat gejala bahwa etika pariwara mulai dilanggar. Selain reklame di Badran, iklan di media cetak tak luput disorot, misalnya iklan sebuah produk madu yang diklaim bisa menyembuhkan penyakit ini-itu. Juga iklan pengobatan tradisional yang bertebaran di koran. Kata menyembuhkan, misalnya tak dibenarkan dalam etika pariwara Indonesia (EPI).
Reklame iklan produk perawatan wajah di Baran itu, menurut Eko (26), pengguna jalan yang juga karyawan swasta di Yogyakarta, sangat mengganggu mata. “Masa iklan bergambar seperti itu bisa terpasang di perempatan. Tidak etis sama sekali,” kata Eko.
Menurut Eddy Purjanto, Ketua Perhimpunan Perusahaan Periklanan Indonesia Pengurus Daerah (P3I Pengda) DIY yang juga ikut dalam audiensi, kata menyembuhkan berlebihan dan memberi informasi yang tidak tepat. Seharusnya, kata yang dipakai adalah membantu menyembuhkan atau meringankan penyakit tertentu. Selain kata menyembuhkan, EPI juga tak membenarkan kata terbaik, terunggul, atauterdepan.
“Dalam kasus reklame di Badran, kami butuh dukungan Pemkot untuk menegur biro iklan yang membuat. Sebab, biro iklannya dari Jakarta. Dengan dibantu Pemkot, yang rekomendasinya pasti lebih didengar, biro-biro iklan bisa ditegur,” ujar Syamsul.
Teguran lisan dan tertulis dari Pemkot, termasuk juga ke media elektronik dan cetak, diyakini bisa menjaga materi iklan yang dikonsumsi masyarakat terjaga keetisannya, secara isi dan visual. BPPD, badan yang dibentuk P3I pada Juli 2009 lalu ini, berharap pemkab-pemkab lain di DIY, nantinya bisa senada dengan Pemkot.
Herry Zudianto, Wali Kota Yogyakarta berjanji mendukung BPPD. Mencermati isi iklan luar ruang, mestinya juga menjadi tanggung jawab Pemkot. “Kami menunggu masukan dan pencermatan BPPD. Pemkot akan melayangkan teguran lisan dan tulisan ke biro-biro iklan, dan meminta mengganti dengan materi lain,” papar Herry.
2.    Kasus Etika Pasar Bebas
CONTOH KASUS ETIKA BISNIS INDOMIE DI TAIWAN
Akhir-akhir ini makin banyak dibicarakan perlunya pengaturan tentang perilaku bisnis terutama menjelang mekanisme pasar bebas. Dalam mekanisme pasar bebas diberi kebebasan luas kepada pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan dan mengembangkan diri dalam pembangunan ekonomi. Disini pula pelaku bisnis dibiarkan bersaing untuk berkembang mengikuti mekanisme pasar.
Dalam persaingan antar perusahaan terutama perusahaan besar dalam memperoleh keuntungan sering kali terjadi pelanggaran etika berbisnis, bahkan melanggar peraturan yang berlaku. Apalagi persaingan yang akan dibahas adalah persaingan produk impor dari Indonesia yang ada di Taiwan. Karena harga yang lebih murah serta kualitas yang tidak kalah dari produk-produk lainnya.
Kasus Indomie yang mendapat larangan untuk beredar di Taiwan karena disebut mengandung bahan pengawet yang berbahaya bagi manusia dan ditarik dari peredaran. Zat yang terkandung dalam Indomie adalah methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat). Kedua zat tersebut biasanya hanya boleh digunakan untuk membuat kosmetik, dan pada Jumat (08/10/2010) pihak Taiwan telah memutuskan untuk menarik semua jenis produk Indomie dari peredaran.  Di Hongkong, dua supermarket terkenal juga untuk sementara waktu tidak memasarkan produk dari Indomie.
Kasus Indomie kini mendapat perhatian Anggota DPR dan Komisi IX akan segera memanggil Kepala BPOM Kustantinah. “Kita akan mengundang BPOM untuk menjelaskan masalah terkait produk Indomie itu, secepatnya kalau bisa hari Kamis ini,” kata Ketua Komisi IX DPR, Ribka Tjiptaning, di  Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (12/10/2010). Komisi IX DPR akan meminta keterangan tentang kasus Indomie ini bisa terjadai, apalagi pihak negara luar yang mengetahui terlebih dahulu akan adanya zat berbahaya yang terkandung di dalam produk Indomie.
A Dessy Ratnaningtyas, seorang praktisi kosmetik menjelaskan, dua zat yang terkandung di dalam Indomie yaitu methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat) adalah bahan pengawet yang membuat produk tidak cepat membusuk dan tahan lama. Zat berbahaya ini umumnya dikenal dengan nama nipagin. Dalam pemakaian untuk produk kosmetik sendiri pemakaian nipagin ini dibatasi maksimal 0,15%.
Ketua BPOM Kustantinah juga membenarkan tentang adanya zat berbahaya bagi manusia dalam kasus Indomie ini. Kustantinah menjelaskan bahwa benar Indomie mengandung nipagin, yang juga berada di dalam kecap dalam kemasam mie instan tersebut. tetapi kadar kimia yang ada dalam Indomie masih dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi, lanjut Kustantinah.
Tetapi bila kadar nipagin melebihi batas ketetapan aman untuk di konsumsi yaitu 250 mg per kilogram untuk mie instan dan 1.000 mg nipagin per kilogram dalam makanan lain kecuali daging, ikan dan unggas, akan berbahaya bagi tubuh yang bisa mengakibatkan muntah-muntah dan sangat berisiko terkena penyakit kanker.
Menurut Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius Commision, produk Indomie sudah mengacu kepada persyaratan Internasional tentang regulasi mutu, gizi dan kemanan produk pangan. Sedangkan Taiwan bukan merupakan anggota Codec. Produk Indomie yang dipasarkan di Taiwan seharusnya untuk dikonsumsi di Indonesia. Dan karena standar di antara kedua negara berbeda maka timbulah kasus Indomie ini.
3.    Kasus Monopoli
Sindonews.com -  PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) atau Pelindo II menyatakan keberatan dan siap mengajukan banding terhadap putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait kasus monopoli di Pelabuhan Teluk Bayur, Sumatera Barat.
Putusan KPPU tersebut atas dugaan pelanggaran Pasal 15 Ayat 2 dan Pasal 19 Huruf (a) dan (b) UU No 5 Tahun 1999, pada Jasa Bongkar Muat di Pelabuhan Teluk Bayur, yang menyatakan bahwa Pelindo II Cabang Teluk Bayur telah melakukan monopoli jasa kepelabuhanan.
Banding yang dilakukan Pelindo II didasarkan pada kepercayaan bahwa perusahaan sesuai statusnya sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terus berupaya untuk melakukan efisiensi layanan logistik nasional. Upaya itu terwujud dalam berbagai kebijakan yang dikeluarkan perusahaan secara transparan.
Direktur Utama Pelabuhan Indonesia II, RJ Lino menyatakan bahwa dirinya menghormati putusan lembaga pemerintah tersebut. Namun tetap menyatakan banding, karena secara bisnis, dalam pelaksanaan pelayanan di Pelabuhan Teluk Bayur, tidak ada pihak yang dirugikan.
Dengan adanya perjanjian tersebut, bahkan para pengguna jasa mendapatkan kepastian layanan dan pelayanan menjadi lebih efisien.
"Pelabuhan Indonesia II membangun semua fasilitas di pelabuhan serta mengoperasikannya. Atas hal itu, maka kami tentunya mendapatkan hak atas fasilitas dan pelayanan yang telah diberikan. Dalam dunia usaha, hal tersebut adalah wajar," kata Lino dalam rilisnya di Jakarta, Selasa (5/11/2013).
Dia menjelaskan, putusan dari KPPU ini sifatnya masih belum final dan Pelabuhan Indonesia II mempunyai hak untuk mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri dan menempuh jalur hukum.
4.    Kasus Korupsi
Merdeka.com - Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Aceh di bawah kepemimpinan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf mengalami peningkatan. Lembaga Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) merilis data korupsi di Aceh pada tahun 2013 meningkat 50 persen dibandingkan tahun 2012 lalu. Akibatnya, negara mengalami kerugian mencapai Rp 513,5 miliar.
"Pada tahun 2013 ini, angka korupsi di Aceh meningkat 50 persen dibandingkan tahun 2012 lalu, ini sangat memprihatinkan," kata Koordinator Mata Alfian kepada wartawan pada Konferensi Pers, Kamis (16/1) di Kantor MaTA Banda Aceh.
Selama tahun 2013, MaTA berhasil merangkum ada sembilan modus korupsi yang dilakukan oleh koruptor di Aceh. Di antaranya, kata Alfian, seperti penyalahgunaan anggaran dan wewenang, adanya laporan fiktif, anggaran dipotong, proyek ditelantarkan dan bahkan ada juga yang melakukan mark up, tidak sesuai spek serta adanya penggelapan.
"Dari sembilan modus itu, ada dua modus yang sangat besar merugikan negara, yaitu mark up dan penggelapan," ujarnya.
Lanjutnya, untuk mark up saja terdapat kerugian negara mencapai Rp 261,2 miliar. Sedangkan untuk penggelapan negara merugi sebanyak Rp 233,6 miliar.
Katanya, lain lagi kasus korupsi yang masih sedang dalam proses penanganan oleh pihak kepolisian. Sedikitnya, ada 26 kasus korupsi yang belum dapat ditetapkan kerugiannya.
Oleh karenanya, Alfian mendesak pihak berwajib, kepolisian, jaksa agar bisa bekerja cepat untuk membongkar mafia korupsi yang ada di Aceh. Pasalnya, korupsi di Aceh tahun ke tahun terus terjadi peningkatan dan ini akan berbahaya terhadap perampokan uang negara.
Sumber :
 
beniazhari.blogspot.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar